Tari bedhaya ketawang adalah sebuah seni pertunjukan warisan budaya Keraton Kasunanan Surakarta yang memiliki sarat makna.
Tari Bedhaya Ketawang juga merupakan tarian sakral atau suci yang dimiliki oleh Keraton Kasunanan Surakarta, sehingga menjadi lambang kebesaran yang hanya ditarikan saat upacara peringatan kenaikan atau penobatan tahta raja yang disebut Tingalandelam Jumenang.
Nama Tari Bedhaya Ketawang diambil dari kata “bedhaya” artinya “penari wanita” di istana. Kata “ketawang” berasal dari kata tawang yang artinya “langit”. Kata ketawang juga melambangkan suatu yang tinggi, suci dan tempat tinggal para dewa.
Para penarinya dilambangkan seperti letak bintang kalajengking yang jumlahnya ada sembilan orang.
Sejarah Tari Bedhaya Ketawang
Sejarah tari bedhaya ketawang ini juga menjadi salah satu pusaka warisan leluhur yang dimiliki raja dan merupakan konsep legitimasi raja.
Gerakan tarian ini mengandung makna falsafah yang tinggi. Sehingga masih tetap berjalan sesuai dengan pakem sampai saat ini.
Tari bedhaya ketawang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1613-1645.
Ada 2 versi terkait asal usul tarian ini, yaitu ketika Sultan Agung melakukan ritual semedi tiba-tiba mendengar suara senandung dari arah langit. Suara tersebut membuat Sultan Agung terkesima, lalu memanggil para pengawal dan mengatakannya.
Pengawal itu adalah Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karanggayam II dan Tumenggung Alap-Alap. Dari kejadian itu, Sultan Agung lalu menciptakan tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang.
Namun versi lain munculnya Tarian ini adalah kisah cinta Ratu Kencanasari atau Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati yang bertemu di pertapaannya.
Panembahan Senopati kemudian memadu kasih dengan Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian Bedhaya Ketawang.
Tarian ini menjadi warisan Keraton Kasunanan Surakarta karena saat disepakatinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dilakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram buat Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I.
Dalam perjanjian tersebut juga terdapat pembagian warisan budaya. Tari bedhaya ketawang akhirnya diberikan kepada Keraton Kasunanan Surakarta.
Dalam perkembangannya tarian ini tetap ditampilkan pada saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan tahta sunan Surakarta. Namun Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara kanjeng Ratu Kidul dengan Raja Mataram.
Semua itu diwujudkan pada kesenian gerak tari. Kata-kata yang terkandung pada tembang pengiring ini menggambarkan curahan hati kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja.
Makna Tari Bedhaya Ketawang
Secara umum Tari Bedhaya Ketawang dipahami sebagai hubungan pernikahan antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Tari Bedhaya Ketawang adalah satu tarian khusus yang dianggap sakral sebagai lambang kebesaran raja dan merupakan tarian tradisional keraton yang memiliki sarat makna dan erat hubungannya dengan upacara adat, sakral dan religi.
1. Adat Upacara
Tari Bedhaya Ketawang bukanlah tarian yang bisa dipertontonkan semata-mata, melainkan hanya bisa ditarikan dan dalam suasana yang resmi sekali. Misalnya saat upacara kenaikan tahta raja atau saat penobatan dan pemilihan raja baru.
Ketika upacara tarian sedang berlangsung tidak boleh ada hidangan yang keluar dan tidak boleh menyalakan rokok. Karena dapat mengganggu jalannya upacara dan suasana tidak menjadi khidmat lagi.
2. Sakral atau religius
Tari Bedhaya Ketawang juga dipandang sebagai suatu ciptaan raja atau ratu makhluk halus. Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali tarian ini dipagelarkan baik untuk latihan atau pergelaran.
Sehingga Kanjeng Ratu Kidul ikut hadir di tengah-tengah mereka dan ikut menari serta membetulkan kesalahan dari para penari yang menarikan tarian tersebut. Kehadiran beliau tidak setiap orang bisa melihatnya, hanya mereka yang peka saja bisa melihat kehadirannya.
Maksud religius dalam tarian ini adalah ada dugaan bahwa pada awalnya Bedhaya merupakan untuk pemujaan di candi-candi dengan suasana yang religius.
3. Tarian Percintaan
Tari Bedhaya Ketawang ini juga melambangkan curahan cinta asmara. Di sini terlukis dalam gerak gerik tangan dan seluruh bagian tubuh dari penari. Tarian ini juga memunculkan nilai magis. Magis disini bukan dalam segi negatif namun segi positif.
Bahwa tarian ini menggambarkan Tuhan memberikan pertolongan kepada Kerajaan Mataram untuk membina.
Karena pada saat Panembahan Senopati bertapa di tepi samudera, ia hanya memiliki satu tujuan untuk meminta kepada Tuhan bagaimana supaya diberikan keselamatan.
Semua kisah tersebut diwujudkan dalam gerakan tarian. Kata-kata yang terkandung dalam tembang pengiringnya pun menggambarkan curahan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada Panembahan Senapati.
Tari Bedhaya Ketawang biasanya akan dimainkan oleh sembilan orang penari wanita. Sedangkan menurut kepercayaan Jawa, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir sebagai penari ke-10.
Ada beberapa syarat yang dimiliki oleh penari, yaitu penari harus seorang gadis (perawan) dan tidak sedang haid. Kalau sedang haid, maka penari tetap diperbolehkan menari.
Namun harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan dilakukan caos dhahar di Panggung Sangga Buwana Keraton Surakarta. Kemudian harus suci secara batiniah dengan cara berpuasa selama beberapa hari sebelum pergelaran.
Pertunjukkan tarian ini juga diiringi oleh musik gending ketawang gede dengan nada pelog. Instrumen yang digunakan yaitu kethuk, kenong, gong, kendang dan kemanak. Iramanya pun terdengar lebih halus dan indah.
Dalam tarian ini dibagi menjadi tiga babak (adegan). Di tengah tarian nada gending berganti menjadi slendro selama 2 kali, kemudian nada gending kembali lagi ke nada pelog sampai tarian berakhir.
Baca juga: 8 Jenis Tarian Betawi Yang Penuh Makna
Busana dan Tata Rias Tari Bedhaya Ketawang
Biasanya penari mengenanakan busana dodot banguntulak atau biasa disebut basahan, dengan lapisan bawah menggunakan kain cinde kembang lengkap dengan perhiasannya.
Dengan riasan wajah khas pengantin jawa putri, penari juga memakai bokor mengkurep yaitu gelungan yang ukurannya lebih besar daripada gelungan gaya Yogyakarta.
Untuk aksesoris perhiasan yang digunakan para penari adalah centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cunduk mentul dan tiba dhadha ( rangkaian bunga yang dipakai pada gelungan yang memanjang sampai dada bagian kanan).
Pakaian penari Bedhaya Ketawang sangat mirip dengan busana pengantin Jawa dan didominasi dengan warna hijau, menunjukkan bahwa tarian ini merupakan tarian yang menggambarkan kisah asmara Kanjeng Ratu Kidul dengan Kerajaan Mataram.
Pelaksanaan tarian ini juga tidak boleh dilakukan secara sembarang. Pelaksanaan tarian ini hanya bisa disajikan pada Anggara kasih atau dalam kalender Jawa bertepatan pada hari Selasa Kliwon.
Bukan hanya pagelaran resminya saja, namun latihan tari pun harus dilakukan di hari itu.
Menurut masyarakat adat Jawa, pada malam Anggara kasih, orang melakukan semedi demi mendapatkan kesaktian dan kejayaan. Sampai saat ini, malam Selasa Kliwon masih diwarnai pagelaran tari maupun seni karawitan.
Demikianlah artikel mengenai kesenian tari bedhaya ketawang yang memiliki sarat makna. Terlepas antara percaya atau tidak terhadap mitos-mitosnya, namun tarian tetap menjadi salah salah satu kekayaan bangsa Indonesia.